Kartini (21 April 1879), seorang perempuan asli Indonesia yang merupakan ikon perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam menuntut hak-hak mereka terutama dalam pendidikan dan perlakuan yang baik.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Perjuangan Kartini untuk memperjuangkan hak-hak wanita pribumi saat itu sesungguhnya, merupakan upaya agar wanita pribumi juga memperoleh pendidikan, jaminan kesehatan, dan pengembangan usaha mandiri melalui koperasi rakyat kecil. Kartini menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi seorang wanita, wanita sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, sebagai seorang pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Pendidikan dan pengajaran yang dimiliki wanita merupakan bekal agar mereka mampu menjalankan semua kewajibannya lebih baik lagi. Perjuangan kartini disini tidaklah keinginan untuk menuntut persamaan gender antara pria dan wanita, bukan pula menjadikan pria sebagai saingan bagi wanita, tetapi lebih menitik beratkan bagaimana bisa mempersiapkan seorang wanita tangguh sebagai patner kerja seorang pria dalam rumah tangganya.
Tokoh Perjuangan penyamaan hak kaum wanita di Indonesia ternyata bukan hanya oleh Kartini saja. Jauh sebelum dinobatkannya kartini sebagai tokoh pergerakan emansipasi wanita, banyak pula wanita-wanita Indonesia lainnya yang juga berjasa dalam perjuangan pendidikan kepada kaum wanita.
Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.
Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan), dan masih banyak lagi yang jika saya uraikan satu-satu tak cukup hanya dalam satu malam.
Begitu gigihnya mereka memperjuangkan hak-hak kaum wanita pada saat itu, dengan tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban wanita. Hak pendidikan yang harus di miliki wanita merupakan modal untuk mendirikan madrasah untuk anak-anak mereka. Modal keterampilan yang harus dimilki wanita, sebagai sarana agar wanita juga bisa mandiri untuk membantu penuhan perekonomian keluarga.
Andai saja kita masih menganut 3 UR untuk wanita (kasur, sumur dan dapur) sehingga pendidikan dinomer sekiankan bagi wanita, apa jadinya sebuah keluarga saat seorang suami yang menjadi tulang punggung meninggal dunia? macetlah perekonomian keluarga.
Andai saja mereka semua, tokoh yang memperjuangkan persamaan hak wanita melihat realita saat ini. Perjuangan mereka yang kini di salah artikan oleh kaum yang diklaim oleh para pengusung ide feminis, tentu akan sedih pastinya.
“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
by: Nurdiansari, Kammi kaltim