Adalagi yang keluar masuk rumah makan, digandeng ibunya yang sudah renta, menadahkan tangannya, memohon belas kasihan. Yang tak kalah mirisnya, anak remaja putri yang setiap malamnya mangkal di Tepian, warung remang-remang. Dalih sebagai pelayan makanan, nyatanya pelayan nafsu lelaki hidung belang.
Kisah di atas hanya sebagian potret anak Indonesia yang ada di Samarinda saat ini. Mereka mungkin saja sudah tidak bersekolah lagi, tidur di pinggir jalan, berkejar-kejaran dengan petugas satpol pp saat razia. Tak ada lagi masa-masa indah yang dapat mereka rasakan, keceriaan mereka terampas karena tuntutan kehidupan yang harus mereka tanggung.
Tidak hanya karena kekurangan ekonomi yang membuat mereka kehilangan masa anak2nya, disisi lain mereka yang berlimpahan kemewahan juga bisa saja tertekan. Tuntutan dari orang tua, menjadi sosok kebanggaan. Hari-harinya diisi dengan berbagai les, dari les music sampai les bahasa asing. Mereka yang setiap harinya sibuk dengan syuting dan pemotretan. Seakan tak ada sedikit waktu untuk mereka menikmati keceriaan, memaksa mereka menelan kedewasaan.
Disinilah peran kita sebagai orang dewasa di butuhkan, kita harus mampu memberikan kesempatan pada mereka, mengukir cita-citanya dan mimpinya sendiri di kaki-kaki pelanginya. Memberikan perlindungan, dan jaminan memperoleh kehidupan yang layak. Sesuai dengan isi UU pasal 34 “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” Kak Seto, psikolog yang berkecimpung di bidang pendidikan dan Hak Anak, pernah mengingatkan: "Jangan lupa bahwa anak bukan miniatur orang dewasa!". SELAMAT HARI ANAK NASIONAL (saNizSarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar dengan bertanggung jawab